BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai
seorang mukmin kita berkewajiban menerima dan mengamalkan semua ajaran yang
dibawa Rosululloh Saw, yang mana ajaran-ajaran tersebut disampaikan kepada
sahabat-sahabat terdekat beliau yang disebut Khulafa al-Rasyidin.
Generasi
Khulafa al-Rasidin dianggap sebagai generasi yang paling dekat dengan
Rosululloh, dari kedekatan ini
berimplikasi kepada keshahehan ajaran-ajaran yang datangnya dari Nabi.
Generasi Tabi’in mendapatkan berita-berita dari para sahabat pertama dan
disampaikan pula kepada generasi-generasi berikutnya hingga sampailah kepada
seorang perawi. Salah satu perawi yang terkenal adalah Imam an-Nasa’i.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas, penulis menjadikan beberapa rumusan masalah untuk
diselesaikan sebagai berikut:
1. Bagaimanakan
biografi Imam an-Nasa’i?
2. Bagaimanakah
sistematika penghimpunan kitab yang ditulis oleh Imam an-Nasa’i?
3. Bagaimanakah
kritik dari berbagai tokoh mengenai Imam an-Nasa’i?
C.
Tujuan
Penulisan
Makalah
sederhana ini berusaha memberikan informasi tentang kelahirannya, pengembaraan
intelektualnya, karya-karyanya serta pendapat-pendapat ulama tentang beliau,
serta gaya penulisan pada kitab beliau.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Imam An-Nasa’i
Nama lengkap dari Imam
an-Nasa’I adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr
Al-Kurasani An-Nasa’i. Nama imam An-Nasa’i dinisbatkan pada sebuah daerah
bernama Nasa’ di wilayah kurasan yang disebut juga Nasawi yang masih termasuk
wilayah Khurasan.[1]
Menurut Adz-Dzahabi, imam An-Nasa’i lahir di daerah Nasa’i pada tahun 215
hijriah. Ciri-ciri An-Nasa’i raut wajahnya oval dan kulitnya berwarna sawo
matang. Menurut Adz-Dzahabi An-Nasa’i bermuka tampan biarpun sudah memasuki
usia senja, sering mengenakan baju musim dingin, mempunyai empat isteri dan
senang makan daging ayam. Dia adalah seorang syek yang berwibawa, bermuka
cerah, ringan tangan dan berbudi luhur.
Di kota Nasa’ itulah
beliau tumbuh melalui masa kanak-kananknya. Aktifitas intelektual beliau
bermulai ketika belau mengahafal Qur’an dan menerima disiplin ilmu dari
guru-gurunya. Pada usia 15 tahun,beliau mulai melakukan perjalanan guna menimba
ilmu dan mencari hadits-hadits Nabi ke berbagai tempat seperti daerah Hijaz,
Irak, Syam, Mesir, dan daerah yang lain.[2]
Ia juga dikenal sebagai
orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah baik pada waktu malam maupun siang
hari, melaksanakan ibadah puasa sunnah dan puasa dawud.
Salah satu keberhasilan
beliau adalah berhasilnya menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis,
yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.[3]
Beliau wafat pada hari senin tanggal 13 bulan Syafar, tahun 303 H (915) di
al-Ramlah dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina.
B.
Penyebaran
Intelektualnya
Pada awalnya, beliau
tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di
Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai
disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring
dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan
lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna
memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15
tahun, beliau sudah melakukan mengembara ke berbagai wilayah Islam, seperti
Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan
intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal
yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, yang biografinya banyak
kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam
semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk
Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual
Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun
demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan
begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses
pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses
pematangan dan perluasan pengetahuan.
C.
Guru
dan Muridnya
Kemampuan intelektual
Imam Nasa’i menjadi matang dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun
demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan
begitu saja, karena di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan
intelektual, sementara masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan
dan perluasan pengetahuan.
Adapun di antara nama guru-guru
beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut: Qutaibah
bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Hisyam bin ‘Ammar, Suwaid bin Nashr, Ahmad bin
‘Abdah Adl Dabbi, Abu Thahir bin as Sarh, Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri, Ishaq bin
Rahawaih, Al Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud, Imam Abu Isa at Tirmidzi, dan yang lainnya.[4]
Sedangkan nama murid-murid
yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah: Abu al
Qasim al Thabarani, Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi, Hamzah
bin Muhammad Al Kinani, Hasan bin al-Khadr al-Asuti, Muhammad bin Ahmad bin Al
Haddad asy Syafi’i, Al Hasan bin Rasyiq, Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An
Naisaburi, Abu Ja’far al Thahawi, Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti, Muhammad
bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi, Abu Basyar ad Dulabi, Abu Bakr Ahmad bin
Muhammad as Sunni, dan yang lainnya.[5]
D.
Hasil
Karya Beliau
Imam Nasa`i adalah
ulama yang terbilang banyak menulis berbagai kitab. Adapun beberapa hasil karya beliau diiantaranya
adalah As Sunan Ash Shughra, As Sunan Al Kubra, Al Kuna, Khasha`isu ‘Ali, ‘Amalu
Al Yaum wa Al Lailah, At Tafsir, Adl Dlu’afa wa al Matrukin, Tasmiyatu Fuqaha`i
Al Amshar, Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid, Dzikru man
haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah, Musnad ‘Ali bin Abi Thalib, Musnad Hadits Malik,
Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum, Al Ikhwah, Al Ighrab, Musnad Manshur bin
Zadzan, Al Jarhu wa ta’, dan lain-lain.[6]
M. ‘Ajaj al-Khatib
menyebutkan dalam bukunya “Ushul
al-Hadits” bahwa al-Nasa’I mengarang kurang lebih 15 buah buku dalam bidang
ilmu hadits dan yang paling utama dan mashur diantaranya adalah Kitab al-Sunan. (Sunan al-Kubra), yang akhirnya terkenal dengan sebutan nama Sunan al-Nasa’i. kitab Sunan ini adalah
kitab hadits yang derajatnya terletak seelah Kitab Shahihain dalam hal kitab yang paling sedikit hadits
da’ifnya, akan tetapi paling banyak pengulangannya.
Setelah Imam al-Nasa’I
selesai mengarang kitabnya al-Sunan (al-Sunan al-Kubra), lalu beliau
memberikannya kepada Amir al-Ramlah. Karena di dalamnya masih terdapat berbagai
macam hadits yang teridentifikasi, apakah termasuk hadits shahih, hasan, atau dha’if,
Amir meminta beliau untuk menyeleksi hadits-hadits yang ada pada kitab tersebut
dengan hanya memasukkan hadits-hadits yang shahih saja. Atas permintaan Amir
tersebut, belau berhasil menyeleksi hadits-hadits yan ada pada kitabnya dengan
hanya memasukkan hadits shahih saja dalam bentuk sebuah kitab, dan belau
manamakannya dengan kitab al-Sunan
al-Sugra, dan disebut juga dengan kitab al-Mujtaba.[7]
E.
Penilaian
tokoh lain terhadap Imam al-Nasa’i
Dari
kalangan ulama seperiode beliau dan murid-muridnya banyak yang memberikan penilaian
kepada beliau, diantara mereka yang memberikan komentar kepada beliau adalah:
ü Abu
‘Ali An Naisaburi menuturkan; “beliau adalah tergolong dari kalangan imam kaum
muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; beliau adalah imam dalam bidang hadits
dengan tidak ada pertentangan.”
ü Abu
Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; “aku ridla dia sebagai hujjah antara aku
dengan Allah Ta’ala.”
ü Manshur
bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; “beliau adalah salah seorang imam kaum
muslimin.”
ü Abu
Sa’id bin yunus menuturkan; “beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits,
tsiqah, tsabat dan hafizh.”
ü Al
Qasim Al Muththarriz menuturkan; “beliau adalah seorang imam, atau berhak
mendapat gelar imam.”
ü Ad
Daruquthni menuturkan; “Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang
yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.”
ü Al
Khalili menuturkan; “beliau adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh
para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan
perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.”
ü Ibnu
Nuqthah menuturkan; “beliau adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.”
ü Al
Mizzi menuturkan; “beliau adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan para
hafizh, dan para tokoh yang terkenal.”[8]
F.
Metode
Penyusunan dan Sistematika Kitab Sunan Al-Nasa’i
Imam
al-Nasa’I dikenal sebagai ulama hadits yang teliti terhadap hadits dan rawi.
Ini terbukti dalam menetapkan criteria sebuah hadits yang dapa diterima atau
ditolak sangat tinggi. Dalam hal ini Al-Hafidz Abu Ali memberikan komentar
bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam al-Nasa’I bagi para perawi hadits jauh
lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh Imam Muslim.
Begitu
selektifnya al-Nasa’I dalam menetapkan sebuah criteria seorang rawi, beliau
berhasil menyusun sebuah kitab yang cukup berharga dan sangat besar dengan nama
al-Sunan Kubra. Karena didalamnya
belum mengadakan pemisahan antara hadits dha’if, hasan, dan shahih, maka beliau
akhirnya mengarang sebuah kitab yang bernama al-Mujtaba’ yang merupakan hasil seleksi dari kitab Sunan al-Kubra, yang isinya hanya hadits
shahih saja.
Metode
dari kitab ini adalah metode sunan.
Yang dimaksud dengan metode sunan adalah metode penyusunan kitab hadits
berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab
al-fiqhiyah) dan hanya menyantumkan hadits-hadits yang bersumber dari Nabi
(hadits marfu’). Bila terdapat
hadits-hadits yang bersumber dari sahabat (mauquf)
atau tabi’in (maqtu’), maka relatif
jumlahnya hanya sedikit.
Adapun
sistematika dari kitab Sunan al-Nasa’i adalah
sebagai berikut[9]:
No
|
Nama
Kitab
|
Juz
|
Hlm
|
No
|
Nama
Kitab
|
Juz
|
Hlm
|
-
|
Al-Muqaddimah
|
I
|
3
|
23
|
Al-Jum’ah
|
III
|
71
|
1
|
Al-Taharah
|
I
|
12
|
24
|
Taqsir
al-Salah fi al-Safar
|
III
|
95
|
2
|
Al-Miyah
|
I
|
141
|
25
|
Al-Kusuf
|
III
|
101
|
3
|
Al-Haid
|
I
|
147
|
26
|
Al-Istisqa’
|
III
|
125
|
4
|
Al-Ghusl
wa al-Tayammum
|
I
|
162
|
27
|
Salat
al-kusuf
|
III
|
136
|
5
|
Al-Salah
|
I
|
178
|
28
|
Salat
al-‘Idain
|
III
|
148
|
6
|
Al-Mawaqit
|
I
|
198
|
29
|
Qiyam
al-Lail wa Tatawwu’ al-Nahr
|
III
|
161
|
7
|
Al-Azan
|
II
|
3
|
30
|
Al-Jana’iz
|
IV
|
3
|
8
|
Al-Masajid
|
II
|
26
|
31
|
Al-Siyam
|
IV
|
97
|
9
|
Al-Qiblah
|
II
|
47
|
32
|
Al-Zakah
|
V
|
3
|
10
|
Al-Imamah
|
II
|
58
|
33
|
Manasik
al-Hajh
|
V
|
83
|
11
|
Al-Jihad
|
VI
|
3
|
34
|
Tahrim
al-Dam
|
VII
|
70
|
12
|
Al-Nikah
|
VI
|
44
|
35
|
Qism
al-Fai’
|
VII
|
117
|
13
|
Al-Thalaq
|
VI
|
112
|
36
|
Al-Bai’ah
|
VII
|
124
|
14
|
Al-Khalil
|
VI
|
178
|
37
|
Al-Aqiqah
|
VII
|
145
|
15
|
Al-Ahbas
|
VI
|
190
|
38
|
Al-Far’
wa al-‘Atirah
|
VII
|
147
|
16
|
Al-Wasaya
|
VI
|
198
|
39
|
Al-Said
wa al Zaba’ibn Hajar al-‘Asqalani
|
VII
|
158
|
17
|
Al-Nahl
|
VI
|
216
|
40
|
Al-Dahaya
|
VII
|
186
|
18
|
Al-Hibah
|
VI
|
220
|
41
|
Al-Buyu
|
VII
|
212
|
19
|
Al-Ruqbah
|
VI
|
226
|
42
|
Al-Qasamah
|
VIII
|
3
|
20
|
Al-Umraa
|
VI
|
228
|
43
|
Qat’u
al-Sariq
|
VIII
|
57
|
21
|
Al-Aiman
wa al-Nuzul wa al-Muzara’ah
|
VII
|
3
|
44
|
Al-Aiman
wa al-Syara’
|
VIII
|
86
|
22
|
‘Asyrah
al-Nisa’
|
VII
|
58
|
|
|
|
|
Pendapat dari Jalal
al-Din al-Suyuti dengan Syarah yang berjudul Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba memberikan penekanan pada aspek
nama-nama rawi, penjelasan lafaz, kata-kata yang agak asing dan aneh, serta
penyebutan sebagian hokum-hukum dan etika yang tercakup oleh berbagai hadits
nabi. Dikatakan syarah yang diberkan oleh al-Syuti ini lebih dekat kepada apa
yang dimaksudkan oleh al-Syuti.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang
disampaikan pada bab II, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Nama
lengkap Imam Al-Nasa’i adalah adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Sinan
bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. . Imam Al-Nasa’i Meninggal dunia pada tahun
303 H atau bertepatan dengan tahun 915 M. Ada ulama yang mengatakan meninggal
di Makkah adapula yang mengatakan di Ramlah (Palestina)
2. Imam
Al-Nasa’i melakukan pengembaraan intelektual ke berbagai wilayah Islam, seperti
Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya untuk menambah khazanah
keilmuannya dalam bidang hadits
3. Diantara
karya-karyanya yang terkenal adalah al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra
al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik.
4. Kitab
yang terkenal dari hasil karya beliau adalah kitab Sunan al-Nasa’I dengan menggunakan metode sunan. Artinya Yang
dimaksud dengan metode sunan adalah metode penyusunan kitab hadits berdasarkan
klasifikasi hukum Islam (abwab
al-fiqhiyah) dan hanya menyantumkan hadits-hadits yang bersumber dari Nabi
(hadits marfu’). Bila terdapat
hadits-hadits yang bersumber dari sahabat (mauquf)
atau tabi’in (maqtu’), maka relatif
jumlahnya hanya sedikit.
DAFTAR
PUSTAKA
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, M. Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi
Kitab Hadits”, Yogyakarta: Teras, 2009
Fatkhur Rahman, “Ikhtisar
Mustholatul Hadits”, Bandung : PT Al-Ma’arif, 1987
Muhammad Alawi al-Maliki, “Ilmu Ushul Hadis”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009
[1]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 131
[2]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 131
[3]
Fatkhur Rahman, “Ikhtisar Mustholatul
Hadits”, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1987), hlm. 334
[4]
Muhammad Alawi al-Maliki, “Ilmu Ushul
Hadis”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 203.
[5]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 135
[6]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 140
[7]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 141
[8]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 135-137
[9]
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, M.
Alfatih Suryadilaga (ed), “Studi Kitab
Hadits”, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 144-145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar